MAKALAH
KONTRIBUSI ABU YUSUF DAN ABU UBAID
DALAM PERKEMBANGAN EKONOMI
Nama Anggota:
Tania
Aprilia Riaji Putri (18510136)
Berlian Savira (18510165)
FAKULTAS
EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No.50, Dinoyo, Kecamatan Lowokwaru, Dinoyo,
Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65144
2018
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan
kepada kehadirat AllaH SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada
penulis, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Kontribusi Abu Yusuf dan Abu
Ubaid dalam Perekonomian ” ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya.
Makalah ini dibuat
dengan beberapa bantuan berbagai pihak untuk menyelesaikannya. Oleh karena
itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari
bahwa makalah ini tidak luput dari segala kekurangan dan kesalahan, Oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis
harapkan.
Malang, 30 Agustus 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar...............................................................................................................
i
Daftar Isi ........................................................................................................................ ii
Bab I
Pendahuluan
1.1. Latar
Belakang ..................................................................................................... 1
1.2.
Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
1.3. Tujuan
Makalah ................................................................................................... 2
Bab II
Pembahasan
2.1. Riwayat Abu
Yusuf dan Abu Ubaid ....................................................................... 3
2.2.
Karya Abu Yusuf dan Abu Ubaid ........................................................................... 5
2.3. Pemikiran
Ekonomi Abu Yusuf dan Abu Ubaid .................................................... 6
Bab III Penutup
3.1. Kesimpulan ........................................................................................................... 14
Daftar Pustaka
............................................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejarah
merupakan potret manusia dimasa lampau, ia merupakan laboratorium kehidupan
yang sesungguhnya. Tiap generasi ada zamannya, begitupun sebaliknya,
setiap zaman ada generasinya. Dimensi masa depan dengan segala persoalannya
dari zaman kapanpun selalu saja sampai kepada manusia berikutnya dalam bentuk
kebaikan untuk diteladani maupun sesuatu yang buruk sebagai pelajaran untuk
tidak dilakukan lagi.
Menampilkan
banyak sekali kontribusi kaum muslimin terhadap kelangsungan dan perkembangan
pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya, telah
diabaikan oleh para ilmuwan Barat. Buku-buku teks ekonomi Barat hampir tidak
pernah menyebutkan peranan kaum muslimin ini. Menurut Chapra, meskipun sebagian
kesalahan terletak di tangan umat Islam karena tidak mengartikulasikan secara
memadai kontribusi kaum muslimin, namun Barat memiliki andil dalam hal ini,
karena tidak memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain
bagi kemajuan pengetahuan manusia. Dalam kesempatan pembuatan makalah ini kami
akan membahas tentang sejarah pemikiran ekonomi Abu Yusuf dan Abu Ubaid beserta
karya-karya beliau.
1.2. Rumusan Masalah
a. Siapakah Abu Yusuf dan Abu Ubaid ?
b. Bagaimana
sumbangan pemikiran Abu Yusuf dan Abu Ubaid terhadap pengembangan Ekonomi Islam
?
c. Apa karya abu
Yusuf dan abu Ubaid yang membantu pengembangan Ekonomi Islam pada masa itu?
1.3
Tujuan Penulisan
a.
Untuk lebih mengenal dan mengetahui riwayat hidup Abu
Yusuf dan Abu Ubaid.
b.
Untuk mengetahui sumbangan pemikiran Abu Yusuf dan Abu
Ubaid terhadap pengembangan ekonomi Islam.
c.
Untuk mengetahui karya abu Yusuf dan abu Ubaid yang
membantu pengembangan Ekonomi Islam pada masa itu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Riwayat Abu Yusuf Dan Abu Ubaid
1. Abu Yusuf
Nama
lengkapnya Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad ibn Husein al-Anshori. Beliau lahir di
kuffah pada tahun 113 H dan wafat pada tahun 182H.[1] Abu Yusuf berasal dari suku
Bujailah, salah satu suku bangsa arab. Keluarganya disebut anshori karena dari
pihak ibu masih memiliki hubungan dengan kaum anshar.[2]
Dibesarkan
di kota kufah dan Baghdad yang pada masa itu merupakan pusat kegiatan pemikiran
dan intelektual islam paling dinamis. Beliau berguru pada salah seorang ulama
besar kenamaan yaitu nu’man bin tsabit yang dikenal dengan nama abu hanifah,
pendiri madzhab hanafi. Beliau belajar pada imam abu hanifah selama 17 tahun.
Begitu intensnya hubungan pribadi dan intelektual ini membuat imam abu yusuf
(w. 182/798) mengambil metode dan cara berfikir gurunya itu dan turut menyebarkan
paham fikihnya selama hidup.[3]
Beliau dikenal sebagai orang yang memiliki
ketajaman pikiran, cepat mengerti, dan sangat cepat menghafal hadits. Murid-muridnya
yang sangat terkenal adalah imam ahmad bin hanbal(pendiri madzhab hanbali),
imam yahya bin ma’in (seorang ulama hadits yang sangat tersohor), dan yahya bin
adam (seorang ulama yang menulis karya ilmiah kitab al-kharraj juga.[4] Abu
yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar, seperti Abu Muhammad
Atho bin as-Saib Al-Kufi,Sulaiman bin Mahran Al-A’masy, Hisyam bin Urwah,
Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin
Jabbar, dan Al-Hajjaj bin Arthah.[5]
Beliau
termasuk ulama yang banyak menggunakan ra’yu (pendapat) seperti yang
menjadi ciri khas dari Fiqih Hanafiyah. Beliau dapat menempatkan kekuatan ra’yu
itu dalam perspektif hadits. Keunikan beliau yang mampu memadukan dua
aliran ini membuatnya terkenal sebagai seorang ulama ahli ra’yu dan
hadits. Kedudukan yang unik ini sebenarnya sulit dicapai tanpa kepenguasaan
ilmu yang memadai baik dari hadits maupun ra’yu.[6] Beliau
seorang alim yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan, baik ulama, penguasa
maupun masyarakat umum. Tidak jarang berbagai pendapatnya dijadikan acuan dalam
kehidupan bermasyarakat. Sebagai salah satu bentuk penghormatan dan pengakuan
pemerintah atas keluasan dan kedalaman ilmunya, khalifah dinasti Abbasiyah,
Harun Ar-Rasyid, mengangkat Abu Yusuf sebagai ketua Mahkamah Agung (qadhi
al-qudhah).[7]
Ketika
Abu Yusuf memangku jabatan sebagai Qadhi al Quddah, beliau diminta oleh ar-
Rasyid untuk menulis buku umum yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam
administrasi keuangan. Buku tersebut kemudian dikenal dengan nama kitab
al-kharraj. Beliau telah menetapkan teori ekonomi yang sesuai dengan syariat
islam.[8]
2.
Abu Ubaid
Abu Ubaid
merupakan seorang ahli hukum, ahli ekonomi Islam, ahli hadits dan ahli bahasa
Arab (ahli nahwu). Abu Ubaid, yang bernama lengkap al-Qasim bin Sallam bin
Miskin bin Zaid al-Harawi al-Azadi al-Baghdadi, lahir di Bahrah, propinsi
Khurasan, sebelah barat laut Afganistan, pada tahun 154 Hijriah. Ayahnya
keturunan Byzantium yang menjadi makula suku Azad.
Setelah
memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu
Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah,
Basrah dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata
bahasa Arab, qiraat, tafsir, hadits, dan fiqih (di mana tidak
dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah
campuran). Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qawaid,
Fiqh, Syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab
Al-Amwal. Kitab al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap
tentang keuangan negara dalam Islam.
Pada tahun 192
H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur di masa pemerintahan Khalifah
Harun Al-Rashid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi (hakim) di
Tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, Abu Ubaid tinggal di Baghdad selama 10 tahun.
Pada tahun 219 H, setelah berhaji, ia menetap di Makkah sampai wafatnya. Ia
meninggal pada tahun 224 H. [9]
2.2.
Karya Abu Yusuf Dan Abu Ubaid
1.
Karya Yusuf
Sekalipun
disibukkan dengan berbagai aktivitas mengajar dan birokrasi, Abu Yusuf masih
meluangkan waktu untuk menunlis . Beberapa karya tulisnya adalah al-
Jawami’, ar-Radd’ala Siyar al-Auza’i, al-Atsar, Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi
Laila, Adad al-Qadhi, dan al-Kharaj. Hadist diperoleh dari Abu Ishak
As-Syaibani, Sulaiman Al Tamyi, yahya bin Said al Anshari, A’masi, Hisyam bin
Urwah, Atha’ bin Said, dan Muhammad bin Sihaq bin Yasir. Dan beliau juga aktif
mengikuti pengajian Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laili.
Adapun kitab
yang paling terkenal adalah kitab Al-Kharaj (pajak). Kitab ini ditulis
atas permintaan kholifah Harun Ar-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpun
pemasukan atau pendapatan Negara dari kharaj, usyr, zakat, dan jizyah. Kemudian
Kitab ini digolongkan sebagai public finance dalam
pengertian ekonomi modern.
Kharaj adalah
pajak tanah yang harus dibayar oleh nonmuslim kepada baitul mal dimana
tanahnya dikuasai oleh orang muslim baik karena peperangan maupun bea cukai
yang harus dibayar para pedagang muslim maupun non muslim yang melintas
diwilayah daulah islamiyah sebesar sepersepuluh/ 10 persen. Sedangkan jizyah adalah
pajak yang harus dibayar oleh orang nonmuslim yang tinggal dan dilindungi dalam
suatu Negara islam.[10]
2.
Karya Abu Ubaid
Beliau
menulis buku yang berjudul Al-Amwal yang membahas tentang keuangan
publik/kebijakan fiskal secara komperhensip.[11] Di
dalamnya dibahas secara mendalam tentang hak dan kewajiban negara, pengumpulan
dan penyaluran zakat, khums, kharaj, fai dan sebagai sumber penerima negara
yang lain. Selain berisi tentang sejarah otentik tentang kehidupan perekonomian
negara Islam pada masa Rasulullah Saw.[12]
Disamping
seorang ahl al-hadis, Abu Ubaid juga merupakan seorang ahl al-ra’y. Dalam
setiap isu, Abu Ubaid selalu mengacu pada hadis-hadis serta interpretasi dan
pendapat para ulama yang terkait, kemudian melakukan kritik terhadapnya dengan
melakukan evaluasi terhadap kekuatan ataupun kelemahannya. Sebagaimana ulama
lainnya, al-Qur’an dan hadis merupakan referensi utama Abu ubaid dalam menarik
kesimpulan hukum suatu peristiwa
2.3.
Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf dan Abu Ubaid
1.
Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
Penekanan
terhadap tanggung jawab penguasa merupakan tema pemikiran ekonomi Islam yang
selalu dikaji sejak awal, tema inilah yang menjadi kajian utama dari Abu Yusuf.
Pemikiran-pemikirannya adalah seperti yang tertuang dalam kitab Al-Kharaj.
Diantaranya ialah:[13]
a.
Tentang pemerintahan
Seorang
khalifah adalah wakil Allah dimuka bumi untuk melaksanakan perintah-Nya dan
mengaturnya. Dalam hubungan hak dan tanggung jawab pemerintah terhadap
rakyatnya. Dalam hal ini Abu Yusuf menyusun sebuah kaidah fiqih yang sangant
popular yaitu tasarruf al imam ala ra’iyyah manutun bi al-maslahah (setaip
tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat terkait dengan kemaslahatan
mereka). Alokasi anggaran keuangan negara harus didistribusikan pada pengadaan
barang-barang publik demi terwujudnya kesejahteraan umum.
b.
Tentang keuangan dan perekonomian
Uang Negara
bukan milik kholifah akan tetapi milik Allah dan rakyatnya yang harus dijaga
dengan penuh tanggung jawab. Hal kontroversial dalam pemikiran ekonomi abu
yusuf adalah pada masalah pengendalian harga. Beliau menentang pemerintah dalam
menetapkan harga.[[3]] Karena bukan menjadi alasan untuk menurunkan harga
bila terjadi banyak barang yang beredar dipasar. Dan sebaliknya
kelangkaan tidak dijadikan sebagai alasan harga melambung tinggi. Dalam hal ini
beliau mengutip hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa “Tinggi dan
rendahnya barang merupakan bagian dari keterkaitan dengan keberadaan Allah, dan
kita tidak bisa mencampuri terlalu jauh bagian dari ketetapan tersebut,” (HR
Abdur Rahman bin Abi Laila dari Hikam bin Utaibah). Pemikiran utama Abu Yusuf
dalam masalah keuangan publik beliau menyarankan tentang cara-cara mendapatkan
sumber pendapatan untuk pembangunan jangka panjang. Sepeti pembangunan jembatan,
jalan-jalan, bendunagan, serta membangun saluran-saluran air besar maupun
kecil.
c.
Tentang
pertanahan
Tanah yang
diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika tidak digarap selama 3
tahun dan diberikan kepada yang lain. Abu Yusuf cenderung menyetujui negara
mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa
dari lahan pertanian. Dalam pandangannya, cara ini lebih adil dan tampaknya
akan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan
dalam memperluas tanah garapan.
d.
Tentang
perpajakan
Dalam konsep
perpajakan, Abu Yusuf lebih mengunggulkan sistem pajak proporsional (muqasamah)
dibandingkan sistem pajak tetap (misahah). Misahah adalah
metode penghitungan kharaj yang didasarkan pada pengukuran tanah tanpa
mempertimbangakan unsur kesuburan tanah, irigasi dan jenis tanaman.
Sedangkan metode muqasamah, tingkat pajak didasarkan pada
ratio tertentu dari total produksi yang dihasilkan. Beliau menilai sistem
pajak proporsional (muqasamah) lebih adil dan tidak memberatkan bagi para
petani sedangkan sitem pajak tetap (misahah) tidak memiliki ketentuan
apakah harus ditarik dalam jumlah uang atau barang. Konsekuensinya,
ketika terjadi fluktuasi harga bahan makanan, antara perbendaharaan
negara dengan para petani akan saling memberikan pengaruh negatif.
Dalam hal ini
beliau berpendapat menekankan pentingnya menunjuk administrator pajak
yang amanah dan tidak koruptif. Mereka harus bekerja secara professional
dan ia menganjurkan gaji mereka diambil dari baitul mal dan bukan dari
pembayar kharaj langsung.
e.
Tentang
peradilan
Hukum tidak
dibenarkan berdasarkan hal yang subhat (sesuatu yang tidak pasti). Kesalahan
dalam mengampuni lebih baik daripada kesalahan dalam menghukum. Jabatan tidak
boleh menjadi bahan pertimbangan dalam peradilan.
2.
Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid
a.
Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi buku
Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abu Ubaid
menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari
prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial.
Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual,
publik dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan
publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Saat membahas
tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia
menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari
subyek non Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai "capacity
to pay" (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan
para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karayan Muslim yang lewat di atas
tanah subjek non Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi
apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian.
Ia membela
pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat
diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abu Ubaid
mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi muslim, maka
komoditas komersial subyek muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan
dibebaskan dari cukai ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di
satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah, zakat tidak boleh
menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban
finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abu Ubaid
berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam
perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak. Pada beberapa kasus ia
tidak merujuk pada kharaj yang dipelopori oleh khalifah umar ataupun ia melihat
adanya permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya berdasarkan
situasi dan kondisi membuat kita berpikir bahwa Abu Ubaid mengadopsi
keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat
dielakkan). Namun, betapapun keberagaman tersebut terjadi hanya sah apabila
aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan
pada nash.
b.
Dikotomi Badui (masyarakat desa) – Urban (masyarakat
kota)
Abu Ubaid
menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui, kaum urban atau perkotaan: l ) ikut
terhadap keberlangsungan Negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari
semua muslim; 2) memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi
jiwa dan harta mereka; 3) menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran
dan pengajaran al-Qur’an dan sunnah dengan penyebaran) keunggulan kualitas
isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui
pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed finalties); 5 ) memberikan
contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah pada waktu Jum'at dan Id.
Disamping
keadilan, Abu Ubaid juga mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan
administrasi pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut
hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak
meyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum urban, tidak dapat
menerima manfaat pendapatan fai seperti kaum urban, mereka tidak berhak
menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara
terhadap penerimaan. fai hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti
saat invasi atau penyerangan rnusuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan
sipil.
Abu Ubaid
memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia
memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa
terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan, fai yang
mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial
terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abu Ubaid mengakui adanya
hak dari para budak perkotaan terhadap jatah yang bukan tunjangan.
Namun,
mekanisme yang disebut di atas meminjam banyak dari universalisme Islam membuat
kultur perkotaan unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden. Tetapi cukup
mengejutkan bahwa Abu Ubaid tidak dapat mengambil langkah selanjutnya dan
berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (division of labour), surplus
produksi, pertukangan dan lainnya dalam hubungan dengan organisasi perkotaan
untuk kerjasama. Sebenarnya, dalam hal ini analisa Abu Ubaid lebih jelas dari
sisio-politis dibanding ekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat
terbukti bahwa Abu Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan
kewajiban-kewajiban warganegara.[14]
c.
Kepemilikan : Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian
Abu Ubaid
rnengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap
kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak
ulama. Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan
perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid secara implisit. Menurutnya,
kebijakan pemerintahan seperti itu terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi
terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan
kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi
pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami
dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan sebagai insentif untuk
meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan
untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan
menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan
dialihkan kepemilikannya oleh Imam.
Adapun hukum –
hukum pertanahan yang dikemukakan oleh Abu Ubaid adalah terdiri dari :
1)
Iqtha' yaitu tanah yang diberikan
oleh kepala negara kepada seorang rakyat untuk menguasai sebidang tanah dengan
mengabaikan yang lainnya.
2)
Ihya' al-Mawat yaitu menghidupkan kembali
tanah yang mati, tandus, tidak terurus, tidak ada pemiliknya dan tidak
dimanfaatkan dengan membersihkannya, mengairi, mendirikan bangunan dan menanam
kembali benih – benih kehidupan pada tanah tersebut. Dalam hal ini negara
berhak menguasai tanah tersebut dengan menjadikannya milik umum dan manfaatnya
diserahkan untuk kemaslahatan umat.
3)
Hima (perlindungan) yaitu lahan
yang tidak berpenduduk yang dilindungi negara untuk tempat mengembala
hewan-hewan ternak.[15]
d.
Reformasi Distribusi Zakat
Setelah merujuk
pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat.
Abu Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian
yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk
meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan
perorangan. Bagi Abu Ubaid yang paling penting adalah memenui kebutuhan dasar
seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan
dan kekurangan, tetapi pada waktu yang sama Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan
kepada orang yang memiliki 40 dirham (harta lain yang setara) di samping
pakaian, rumah dan pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup
minimum). Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah
minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap
orang tersebut.
Karenanya
pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi
pengelompokan yang terkait dengan status zakat, yaitu; 1) kalangan kaya yang
terkena wajib zakat, 2) kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi
juga tidak berhak menerima zakat, 3) kalangan penerima zakat (mustahik).
Berkaitan
dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara
umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya
masing-masing (likulli wahidin hasba hajatihi) dan ia secara mendasar lebih
condong pada prinsip "bagi setiap orang adalah menurut haknya'", pada
saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya
(pengelola) atas kebijakan Imam.[16]
e.
Fungsi Uang
Abu Ubaid
mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai
standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai
media pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini
menunjukkan dukungan Abu Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia
merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak
dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian
komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut
keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai
atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abu Ubaid tidak
menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of 'value) dari emas dan
perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas
tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah
zakatnya.[17]
KESIMPULAN
1.
Riwayat Abu Yusuf Dan Abu Ubaid
a. Abu Yusuf
adalah seorang cendikiawan yang lahir di Kufah pada tahun 113 H (731 M)
dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 182 H (798 M), dan beliau dikenal
sebagai Qadhi/ hakim, bahkan sebagai Qadi al- Qudah (hakim agung) pada dinasti
Abassiyah yaitu pada masa pemerintahan Kholifah Harun Ar-Rasyid.
b. Abu
Ubaid merupakan seorang ahli hukum, ahli ekonomi Islam,
ahli hadits dan ahli bahasa Arab (ahli nahwu), dan hasil
karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qawaid, Fiqh, Syair dan
lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal, dan
beliau meninggal pada tahun 224 H.
2.
Karya Abu Yusuf
dan Abu Ubaid
a. Karya Abu Yusuf
yang membantu perkembangan ekonomi antara lain
1. Al- Jawami’.
2. Ar-Radd’ala
Siyar al-Auza’.
3. Al-Atsar.
4. Ikhtilaf Abi Hanifah
wa Ibn Abi Laila.
5. Adad al-Qadhi.
6. Al-Kharaj.
b. Karya Abu Ubaid
yang membantu perkembangan ekonomi islam adalah Kitâb Al-Amwâl.
3. Pemikiran Abu Yusuf dan Abu Ubaid
a. Sumbangan
pemikiran Abu Yusuf
1. Tentang
pemerintahan; Seorang khalifah adalah wakil Allah dimuka bumi untuk
melaksanakan perintah-Nya dan mengaturnya.
2. Tentang
keuangan dan perekonomian; Uang Negara bukan milik kholifah akan
tetapi milik Allah dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.
3. Tentang
pertanahan; Tanah yang diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika
tidak digarap selama 3 tahun.
4. Tentang perpajakan Dalam
konsep perpajakan, Abu Yusuf lebih mengunggulkan sistem pajak proporsional
(muqasamah) dibandingkan sistem pajak tetap (misahah).
5. Tentang peradilan;
Hukum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang subhat (sesuatu yang tidak pasti).
b. Sumbangan
pemikiran Abu Ubaid
1. Filosofi Hukum
dari Sisi Ekonomi.
2. Dikotomi Badui
(masyarakat desa) – Urban (masyarakat kota).
3. Kepemilikan :
Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian.
4. Pertimbangan
Kepentingan.
5. Fungsi Uang.
DAFTAR PUSTAKA
Anto, Hendri. 2003. Pengantar
Ekonomika Mikro Islam. Yogyakarta: Ekonisia.
Abdullah. Peradaban
Islam. Hlm 180
Basri, Ikhwan Abiding. Menguak
Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik.
Dahlan, Abdul Aziz (ed). 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta:PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Ibid.
Karim, Adimarwan
Azwar. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada.
Masykuroh, Ely.
2008. Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan Pada Teori Ekonomi Mikro Islam . Ponorogo:STAIN Press.
Syauqi
Abu Khalil, dan Harun Ar-Rasyid. 2002. Pemimpin dan Raja yang Mulia.
Jakarta: Pustaka Azzam.
Yusuf,
Abu. 1302 H. Kitab Al- Kharraj.
Kairo:Al-Maktabah As-Salafiyah
[1] Dahlan,
Abdul Aziz (ed). 1996. Ensiklopedi Hukum
Islam. Jakarta:PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Hlm 16.
[2] Basri,
Ikhwan Abiding. Menguak Pemikiran Ekonomi
Ulama Klasik. Hlm. 27.
[3] Ibid.
Hlm. 28.
[5] Ibid.
Hlm. 28.
[7] Karim, Adimarwan Azwar. 2004. Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. Hlm 241.
[8]
Syauqi,
Abu Khalil, dan Harun Ar-Rasyid. 2002. Pemimpin dan Raja yang Mulia. Jakarta:
Pustaka Azzam. Hlm. 136.
[9]
Karim,
Adiwarman Azwar. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada. Hlm 242-247.
[10] Karim,
Adimarwan Azwar. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada. Hlm 250.
[11] Masykuroh, Ely. 2008. Pengantar Teori Ekonomi:
Pendekatan Pada Teori Ekonomi Mikro Islam . Ponorogo:
STAIN
Press. Hlm 42.
[13] Karim, Adimarwan Azwar. 2004. Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. Hlm 268.
[15] Ibid.
Hlm 255-256.
[16]
Abdullah. Peradaban Islam. Hlm 180
[17] Ibid.
Hlm 181-182

Tidak ada komentar:
Posting Komentar