Jumat, 23 November 2018

MAKALAH KONTRIBUSI ABU YUSUF DAN ABU UBAID DALAM PERKEMBANGAN EKONOMI


MAKALAH
KONTRIBUSI ABU YUSUF DAN ABU UBAID
DALAM PERKEMBANGAN EKONOMI



Nama Anggota:
Tania Aprilia Riaji Putri     (18510136)
Berlian Savira                     (18510165)

FAKULTAS EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No.50, Dinoyo, Kecamatan Lowokwaru, Dinoyo,
Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65144
2018







KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat AllaH SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah  dengan judul “Kontribusi Abu Yusuf dan Abu Ubaid dalam Perekonomian ” ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya.
            Makalah ini dibuat dengan beberapa bantuan berbagai pihak untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari segala kekurangan dan kesalahan, Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan.




            Malang, 30 Agustus 2018


Penulis





DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................... i
Daftar Isi ........................................................................................................................  ii
Bab I Pendahuluan
1.1.       Latar Belakang .....................................................................................................  1
1.2.       Rumusan Masalah ................................................................................................  1
1.3.       Tujuan Makalah ...................................................................................................  2
Bab II Pembahasan
2.1.       Riwayat Abu Yusuf dan Abu Ubaid .......................................................................  3
2.2.       Karya Abu Yusuf dan Abu Ubaid ...........................................................................  5
2.3.       Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf dan Abu Ubaid ....................................................  6
Bab  III Penutup
3.1.       Kesimpulan ...........................................................................................................  14
Daftar Pustaka ...............................................................................................................  15










BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Sejarah merupakan potret manusia dimasa lampau, ia merupakan laboratorium kehidupan yang sesungguhnya.  Tiap generasi ada zamannya, begitupun sebaliknya, setiap zaman ada generasinya. Dimensi masa depan dengan segala persoalannya dari zaman kapanpun selalu saja sampai kepada manusia berikutnya dalam bentuk kebaikan untuk diteladani maupun sesuatu yang buruk sebagai pelajaran untuk tidak dilakukan lagi.
Menampilkan banyak sekali kontribusi kaum muslimin terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya, telah diabaikan oleh para ilmuwan Barat. Buku-buku teks ekonomi Barat hampir tidak pernah menyebutkan peranan kaum muslimin ini. Menurut Chapra, meskipun sebagian kesalahan terletak di tangan umat Islam karena tidak mengartikulasikan secara memadai kontribusi kaum muslimin, namun Barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia. Dalam kesempatan pembuatan makalah ini kami akan membahas tentang sejarah pemikiran ekonomi Abu Yusuf dan Abu Ubaid beserta karya-karya beliau.

1.2.  Rumusan Masalah
a.        Siapakah Abu Yusuf dan Abu Ubaid ?
b.      Bagaimana sumbangan pemikiran Abu Yusuf dan Abu Ubaid terhadap pengembangan Ekonomi Islam ?
c.       Apa karya abu Yusuf dan abu Ubaid yang membantu pengembangan Ekonomi Islam pada masa itu?



1.3    Tujuan Penulisan
a.      Untuk lebih mengenal dan mengetahui riwayat hidup Abu Yusuf dan Abu Ubaid.
b.      Untuk mengetahui sumbangan pemikiran Abu Yusuf dan Abu Ubaid terhadap pengembangan ekonomi Islam.
c.       Untuk mengetahui karya abu Yusuf dan abu Ubaid yang membantu pengembangan  Ekonomi Islam pada masa itu.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       Riwayat Abu Yusuf Dan Abu Ubaid
1.    Abu Yusuf
Nama lengkapnya Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad ibn Husein al-Anshori. Beliau lahir di kuffah pada tahun 113 H dan wafat pada tahun 182H.[1]  Abu Yusuf berasal dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa arab. Keluarganya disebut anshori karena dari pihak ibu masih memiliki hubungan dengan kaum anshar.[2]
Dibesarkan di kota kufah dan Baghdad yang pada masa itu merupakan pusat kegiatan pemikiran dan intelektual islam paling dinamis. Beliau berguru pada salah seorang ulama besar kenamaan yaitu nu’man bin tsabit yang dikenal dengan nama abu hanifah, pendiri madzhab hanafi. Beliau belajar pada imam abu hanifah selama 17 tahun. Begitu intensnya hubungan pribadi dan intelektual ini membuat imam abu yusuf (w. 182/798) mengambil metode dan cara berfikir gurunya itu dan turut menyebarkan paham fikihnya selama hidup.[3]
Beliau dikenal sebagai orang yang memiliki ketajaman pikiran, cepat mengerti, dan sangat cepat menghafal hadits. Murid-muridnya yang sangat terkenal adalah imam ahmad bin hanbal(pendiri madzhab hanbali), imam yahya bin ma’in (seorang ulama hadits yang sangat tersohor), dan yahya bin adam (seorang ulama yang menulis karya ilmiah kitab al-kharraj juga.[4] Abu yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar, seperti Abu Muhammad Atho bin as-Saib Al-Kufi,Sulaiman bin Mahran Al-A’masy, Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar, dan Al-Hajjaj bin Arthah.[5]
Beliau termasuk ulama yang banyak menggunakan ra’yu (pendapat) seperti yang menjadi ciri khas dari Fiqih Hanafiyah. Beliau dapat menempatkan kekuatan ra’yu itu dalam perspektif hadits. Keunikan beliau yang mampu memadukan dua aliran ini membuatnya terkenal sebagai seorang ulama ahli ra’yu dan hadits. Kedudukan yang unik ini sebenarnya sulit dicapai tanpa kepenguasaan ilmu yang memadai baik dari hadits maupun ra’yu.[6] Beliau seorang alim yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan, baik ulama, penguasa maupun masyarakat umum. Tidak jarang berbagai pendapatnya dijadikan acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai salah satu bentuk penghormatan dan pengakuan pemerintah atas keluasan dan kedalaman ilmunya, khalifah dinasti Abbasiyah, Harun Ar-Rasyid, mengangkat Abu Yusuf sebagai ketua Mahkamah Agung (qadhi al-qudhah).[7]
Ketika Abu Yusuf memangku jabatan sebagai Qadhi al Quddah, beliau diminta oleh ar- Rasyid untuk menulis buku umum yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam administrasi keuangan. Buku tersebut kemudian dikenal dengan nama kitab al-kharraj. Beliau telah menetapkan teori ekonomi yang sesuai dengan syariat islam.[8]

2.        Abu Ubaid
Abu Ubaid merupakan seorang ahli hukum, ahli ekonomi Islam, ahli hadits dan ahli bahasa Arab (ahli nahwu). Abu Ubaid, yang bernama lengkap al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid al-Harawi al-Azadi al-Baghdadi, lahir di Bahrah, propinsi Khurasan, sebelah barat laut Afganistan, pada tahun 154 Hijriah. Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi makula suku Azad.
Setelah memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qiraat, tafsir, hadits, dan fiqih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qawaid, Fiqh, Syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal. Kitab al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam.
Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rashid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, Abu Ubaid tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji, ia menetap di Makkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H. [9]

2.2.       Karya Abu Yusuf Dan Abu Ubaid
1.        Karya Yusuf
Sekalipun disibukkan dengan berbagai aktivitas mengajar dan birokrasi, Abu Yusuf masih meluangkan waktu untuk menunlis . Beberapa karya tulisnya adalah al- Jawami’, ar-Radd’ala Siyar al-Auza’i, al-Atsar, Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila, Adad al-Qadhi, dan al-Kharaj. Hadist diperoleh dari Abu Ishak As-Syaibani, Sulaiman Al Tamyi, yahya bin Said al Anshari, A’masi, Hisyam bin Urwah, Atha’ bin Said, dan Muhammad bin Sihaq bin Yasir. Dan beliau juga aktif mengikuti pengajian Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laili.
Adapun kitab yang  paling terkenal adalah kitab Al-Kharaj (pajak). Kitab ini ditulis atas permintaan kholifah Harun Ar-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan Negara dari kharaj, usyr, zakat, dan jizyah. Kemudian Kitab ini  digolongkan sebagai public finance dalam pengertian ekonomi modern.
Kharaj adalah pajak tanah yang harus dibayar oleh nonmuslim  kepada baitul mal dimana tanahnya dikuasai oleh orang muslim baik karena peperangan maupun bea cukai yang harus dibayar para pedagang muslim maupun non muslim yang melintas diwilayah daulah islamiyah sebesar sepersepuluh/ 10 persen. Sedangkan jizyah adalah pajak yang harus dibayar oleh orang nonmuslim yang tinggal dan dilindungi dalam suatu Negara islam.[10]

2.        Karya Abu Ubaid
Beliau menulis buku yang berjudul Al-Amwal yang membahas tentang keuangan publik/kebijakan fiskal secara komperhensip.[11] Di dalamnya dibahas secara mendalam tentang hak dan kewajiban negara, pengumpulan dan penyaluran zakat, khums, kharaj, fai dan sebagai sumber penerima negara yang lain. Selain berisi tentang sejarah otentik tentang kehidupan perekonomian negara Islam pada masa Rasulullah Saw.[12]
Disamping seorang ahl al-hadis, Abu Ubaid juga merupakan seorang ahl al-ra’y. Dalam setiap isu, Abu Ubaid selalu mengacu pada hadis-hadis serta interpretasi dan pendapat para ulama yang terkait, kemudian melakukan kritik terhadapnya dengan melakukan evaluasi terhadap kekuatan ataupun kelemahannya. Sebagaimana ulama lainnya, al-Qur’an dan hadis merupakan referensi utama Abu ubaid dalam menarik kesimpulan hukum suatu peristiwa

2.3.       Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf dan Abu Ubaid
1.        Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
Penekanan terhadap tanggung jawab penguasa merupakan tema pemikiran ekonomi Islam yang selalu dikaji sejak awal, tema inilah yang menjadi kajian utama dari Abu Yusuf. Pemikiran-pemikirannya adalah seperti yang tertuang dalam kitab Al-Kharaj. Diantaranya ialah:[13]

a.    Tentang pemerintahan
Seorang khalifah adalah wakil Allah dimuka bumi untuk melaksanakan perintah-Nya dan mengaturnya. Dalam hubungan hak dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyatnya. Dalam hal ini Abu Yusuf menyusun sebuah kaidah fiqih yang sangant popular yaitu tasarruf al imam ala ra’iyyah manutun bi al-maslahah (setaip tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat terkait dengan kemaslahatan mereka). Alokasi anggaran keuangan  negara harus didistribusikan pada pengadaan barang-barang publik demi  terwujudnya kesejahteraan umum.

b.    Tentang keuangan dan perekonomian
Uang Negara bukan milik kholifah akan tetapi milik Allah dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Hal kontroversial dalam pemikiran ekonomi abu yusuf adalah pada masalah pengendalian harga. Beliau menentang pemerintah dalam menetapkan harga.[[3]] Karena bukan menjadi alasan untuk menurunkan harga bila terjadi banyak barang  yang beredar dipasar. Dan sebaliknya kelangkaan tidak dijadikan sebagai alasan harga melambung tinggi. Dalam hal ini beliau mengutip hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa “Tinggi dan rendahnya barang merupakan bagian dari keterkaitan dengan keberadaan Allah, dan kita tidak bisa mencampuri terlalu jauh bagian dari ketetapan tersebut,” (HR Abdur Rahman bin Abi Laila dari Hikam bin Utaibah). Pemikiran utama Abu Yusuf dalam masalah keuangan publik beliau menyarankan tentang cara-cara mendapatkan sumber pendapatan untuk pembangunan jangka panjang. Sepeti pembangunan jembatan, jalan-jalan, bendunagan, serta membangun saluran-saluran air besar maupun kecil.

c.    Tentang pertanahan
Tanah yang diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika tidak digarap selama 3 tahun dan diberikan kepada yang lain. Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam pandangannya, cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan.

d.   Tentang perpajakan
Dalam konsep perpajakan, Abu Yusuf lebih mengunggulkan sistem pajak proporsional (muqasamah) dibandingkan sistem pajak tetap (misahah). Misahah adalah metode penghitungan kharaj yang didasarkan pada  pengukuran tanah tanpa mempertimbangakan unsur kesuburan tanah, irigasi  dan jenis tanaman. Sedangkan metode muqasamah, tingkat pajak didasarkan  pada ratio tertentu dari total produksi yang dihasilkan. Beliau menilai  sistem pajak proporsional (muqasamah) lebih adil dan tidak memberatkan  bagi para petani sedangkan sitem pajak tetap (misahah) tidak memiliki  ketentuan apakah harus ditarik dalam jumlah uang atau barang.  Konsekuensinya, ketika terjadi fluktuasi harga bahan makanan, antara  perbendaharaan negara dengan para petani akan saling memberikan pengaruh negatif.
Dalam hal ini beliau berpendapat menekankan pentingnya menunjuk administrator pajak yang  amanah dan tidak koruptif. Mereka harus bekerja secara professional dan ia menganjurkan gaji mereka diambil dari baitul mal dan bukan dari  pembayar kharaj langsung.

e.   Tentang peradilan
Hukum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang subhat (sesuatu yang tidak pasti). Kesalahan dalam mengampuni lebih baik daripada kesalahan dalam menghukum. Jabatan tidak boleh menjadi bahan pertimbangan dalam peradilan.

2.        Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid
a.    Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi buku Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai "capacity to pay" (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karayan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian.
Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abu Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi muslim, maka komoditas komersial subyek muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah, zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak. Pada beberapa kasus ia tidak merujuk pada kharaj yang dipelopori oleh khalifah umar ataupun ia melihat adanya permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir bahwa Abu Ubaid mengadopsi keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun, betapapun keberagaman tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.

b.   Dikotomi Badui (masyarakat desa) – Urban (masyarakat kota)
Abu Ubaid menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui, kaum urban atau perkotaan: l ) ikut terhadap keberlangsungan Negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim; 2) memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3) menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan sunnah dengan penyebaran) keunggulan kualitas isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed finalties); 5 ) memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah pada waktu Jum'at dan Id.
Disamping keadilan, Abu Ubaid juga mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak meyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai seperti kaum urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan. fai hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan rnusuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
Abu Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan, fai yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abu Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap jatah yang bukan tunjangan.
Namun, mekanisme yang disebut di atas meminjam banyak dari universalisme Islam membuat kultur perkotaan unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden. Tetapi cukup mengejutkan bahwa Abu Ubaid tidak dapat mengambil langkah selanjutnya dan berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (division of labour), surplus produksi, pertukangan dan lainnya dalam hubungan dengan organisasi perkotaan untuk kerjasama. Sebenarnya, dalam hal ini analisa Abu Ubaid lebih jelas dari sisio-politis dibanding ekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abu Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.[14]

c.    Kepemilikan : Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian
Abu Ubaid rnengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama. Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti itu terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh Imam.
Adapun hukum – hukum pertanahan yang dikemukakan oleh Abu Ubaid adalah terdiri dari :
1)        Iqtha' yaitu tanah yang diberikan oleh kepala negara kepada seorang rakyat untuk menguasai sebidang tanah dengan mengabaikan yang lainnya.
2)        Ihya' al-Mawat yaitu menghidupkan kembali tanah yang mati, tandus, tidak terurus, tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan dengan membersihkannya, mengairi, mendirikan bangunan dan menanam kembali benih – benih kehidupan pada tanah tersebut. Dalam hal ini negara berhak menguasai tanah tersebut dengan menjadikannya milik umum dan manfaatnya diserahkan untuk kemaslahatan umat.
3)        Hima (perlindungan) yaitu lahan yang tidak berpenduduk yang dilindungi negara untuk tempat mengembala hewan-hewan ternak.[15]

d.    Reformasi Distribusi Zakat
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat. Abu Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abu Ubaid yang paling penting adalah memenui kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan, tetapi pada waktu yang sama Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40 dirham (harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup minimum). Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat, yaitu; 1) kalangan kaya yang terkena wajib zakat, 2) kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, 3) kalangan penerima zakat (mustahik).
Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing (likulli wahidin hasba hajatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip "bagi setiap orang adalah menurut haknya'", pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya (pengelola) atas kebijakan Imam.[16]


e.    Fungsi Uang
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abu Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abu Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of 'value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.[17]





KESIMPULAN

1.    Riwayat Abu Yusuf Dan Abu Ubaid
a.    Abu Yusuf adalah seorang cendikiawan yang lahir di Kufah pada tahun 113 H (731 M) dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 182 H (798 M), dan beliau dikenal sebagai Qadhi/ hakim, bahkan sebagai Qadi al- Qudah (hakim agung) pada dinasti Abassiyah yaitu pada masa pemerintahan Kholifah Harun Ar-Rasyid.
b.    Abu Ubaid merupakan seorang ahli hukum, ahli ekonomi Islam, ahli   hadits dan ahli bahasa Arab (ahli nahwu), dan hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qawaid, Fiqh, Syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal, dan beliau meninggal pada tahun 224 H.
2.    Karya Abu Yusuf dan Abu Ubaid
a.    Karya Abu Yusuf yang membantu perkembangan ekonomi antara lain
1.    Al- Jawami’.
2.    Ar-Radd’ala Siyar al-Auza’.
3.    Al-Atsar.
4.    Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila.
5.    Adad al-Qadhi.
6.    Al-Kharaj.
b.    Karya Abu Ubaid yang membantu perkembangan ekonomi islam adalah Kitâb Al-Amwâl.
3.  Pemikiran Abu Yusuf dan Abu Ubaid
a.    Sumbangan pemikiran Abu Yusuf
1.    Tentang pemerintahan; Seorang khalifah adalah wakil Allah dimuka bumi untuk melaksanakan perintah-Nya dan mengaturnya.
2.    Tentang keuangan dan perekonomian; Uang Negara bukan milik kholifah akan tetapi milik Allah dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.
3.    Tentang pertanahan; Tanah yang diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika tidak digarap selama 3 tahun.
4.    Tentang perpajakan Dalam konsep perpajakan, Abu Yusuf lebih mengunggulkan sistem pajak proporsional (muqasamah) dibandingkan sistem pajak tetap (misahah).
5.    Tentang peradilan; Hukum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang subhat (sesuatu yang tidak pasti).
b.    Sumbangan pemikiran Abu Ubaid
1.    Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi.
2.    Dikotomi Badui (masyarakat desa) – Urban (masyarakat kota).
3.    Kepemilikan : Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian.
4.    Pertimbangan Kepentingan.
5.    Fungsi Uang.




DAFTAR PUSTAKA

Anto, Hendri. 2003. Pengantar Ekonomika Mikro Islam. Yogyakarta: Ekonisia.
Abdullah. Peradaban Islam. Hlm 180
Basri, Ikhwan Abiding. Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik.
Dahlan, Abdul Aziz (ed). 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta:PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Ibid.
Karim, Adimarwan Azwar. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.
Masykuroh, Ely. 2008. Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan Pada Teori Ekonomi Mikro Islam .  Ponorogo:STAIN Press.
Syauqi Abu Khalil, dan Harun Ar-Rasyid. 2002. Pemimpin dan Raja yang Mulia. Jakarta: Pustaka Azzam.
Yusuf, Abu. 1302 H. Kitab Al- Kharraj. Kairo:Al-Maktabah As-Salafiyah




[1] Dahlan, Abdul Aziz (ed). 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta:PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Hlm 16.
[2] Basri, Ikhwan Abiding. Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik. Hlm. 27.
[3] Ibid. Hlm. 28.
[4] Karim, Adimarwan Azwar. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Hlm 2.
[5] Ibid. Hlm. 28.
[6] Karim, Adimarwan Azwar. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Hlm 96
[7] Karim, Adimarwan Azwar. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. Hlm 241.
[8] Syauqi, Abu Khalil, dan Harun Ar-Rasyid. 2002. Pemimpin dan Raja yang Mulia. Jakarta: Pustaka Azzam. Hlm. 136.
[9] Karim, Adiwarman Azwar. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. Hlm 242-247.
[10] Karim, Adimarwan Azwar. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. Hlm 250.
[11] Masykuroh, Ely. 2008. Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan Pada Teori Ekonomi Mikro Islam .  Ponorogo:
STAIN Press. Hlm 42.
[12] Anto, Hendri. 2003. Pengantar Ekonomika Mikro Islam. Yogyakarta: Ekonisia. Hlm 65.
[13] Karim, Adimarwan Azwar. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. Hlm 268.
[14] Karim, Adimarwan Azwar. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.. Hlm 251-254
[15] Ibid. Hlm 255-256.
[16] Abdullah. Peradaban Islam. Hlm 180
[17] Ibid. Hlm 181-182